Hampir satu bulan penuh yaitu dari tanggal 7-30 Juni 2008, jutaan peminat sepak bola diseluruh dunia dimanjakan dengan kejuaraan Piala Eropa yang diselenggarakan di Swiss dan Austria.
Mendengar kejuaraan yang digandrungi oleh para penonton fanatik sepakbola di dunia, saya teringat dengan sebuah buku yang ditulis oleh Anung Handoko berjudul ‘Sepak Bola Tanpa Batas’.
Buku itu berusaha menjelaskan tentang dinamika yang terjadi dikalangan suporter sepakbola Indonesia. Nilai-nilai solidaritas dan toleransi dalam kelompok suporter termasuk mengapa supporter fanatik terkadang berprilaku anarkis, diceritakan dalam buku ini.
Meskipun buku ini ditulis dalam konteks sepakbola di Indonesia, nampaknya pengertian ‘Sepak Bola Tanpa Batas’ berlaku bagi semua negara di dunia.
Sepak bola memang bisa menyihir jutaan manusia di dunia untuk menghilangkan sekat-sekat atau batas-batas, baik itu sekat territorial, geografis, suku, agama maupun kewarganegaraan.
Apapun agamanya, Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya kalau dia sudah simpati dan menjadi fans berat David Beckham, maka kelompok fans ini akan bersatu dan mengeluk-elukan pemain Inggris ini sebagai idolanya.
Segala atribut yang berbau Beckham baik itu pakaian, model rambut atau atribut lainnya akan memepersatukan kelompok ini. Mereka tidak akan mempermasalahkan apa ras dan agama seorang Beckham.
Apapun warganegaranya, kalau dia sudah menjadi fans berat Inter Milan dari Italia atau Real Madrid dari Spanyol, maka ketika dua klub sepak bola ini bertanding mereka akan dengan senang hati mendukungnya. Termasuk rela ‘begadang’ (tidak tidur) hanya untuk menonton klub favoritnya bertanding.
Sepak bola juga telah melewati batas yang bukan hanya berarti untuk semata-mata kegiatan olah raga. Ia telah menjadi olah raga yang keberadaannya terkait dengan bisnis dan politik.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak kalangan yang menjadi kaya raya karena sepak bola. Sepak bola telah menjadi mesin penghasil uang dan bisa mendatangkan devisa bagi sebuah negara.
Tidak hanya para pemain seperti David Backham, Christian Ronaldo, Ronaldinho dan pemain kelas dunia lainnya yang menjadi billionaire dan popular di dunia, tapi juga para pemilik club banyak mengandalkan bisnisnya dari sepak bola.
Konon, perekonomian Jerman, meningkat dengan adanya final piala dunia di negeri ini pada tahun 2006 lalu. Memang banyaknya penonton ’maniak bola’ dari seluruh penjuru dunia yang datang ke Jerman secara otomatis mendatangkan devisa bagi Jerman. Hunian hotel, tempat pariwisata dan tempat belanja di Jerman, tentunya secara otomatis akan diserbu oleh para pecinta bola ini, yang secara tidak langsung akan memberi keuntungan ekonomi bagi negara tersebut.
Pertanyaannya, mengapa sepak bola begitu digandrungi dan tidak mengenal batas? Banyak jawaban yang bisa diajukan atas pertanyaan tersebut, tetapi paling tidak empat jawaban dibawah ini bisa dijadikan rujukan.
Pertama, prasarana, dan alat yang sederhana dan murah nampaknya menjadi alasan utama mengapa olahraga ini sangat populer dan digemari.
Semua lapisan masyarakat bisa menjangkaunya. Hanya dengan sebuah bola murahan, anak-anak dengan mudah bisa memainkannya di gang-gang sempit diantara perumahan perumahan kumuh mulai dari Jakarta, Brasil sampai Ethiopia. Begitu juga dengan daya tarik bisnis yang mengitarinya, olah raga ini bisa digemari oleh orang-orang kaya berdompet tebal.
Kedua, perhatian media massa yang luas juga membuat olah raga ini begitu digandrungi. Tidak ada satu media pun di dunia baik yang lokal, regional maupun internasional yang terlewat mengulas sepakbola. Sebagai contohnya adalah hingar bingar ’Piala Eropa’ yang sedang berlangsung. Semua media baik itu media cetak, elektronik dan internet tak habis-habisnya mengulas bagaimana Belanda mampu menaklukan sang juara dunia Italia dengan score telak 3-0 dan Prancis dengan score 4-1.
Ketiga, jumlah penonton yang besar secara otomatis menjadikan peluang bisnis di bidang ini digandrungi oleh banyak orang. Dibandingkan dengan olah raga lain, nampaknya sepakbola bisa dikategorikan sebagai olahraga yang paling banyak ditonton oleh masyarakat dunia.
Keempat, sepakbola mampu mendorong berbagai karakter pemain untuk bersatu dalam satu klub tanpa melihat ras, asal pemain, warna kulit, agama dan status sosial lainnya. Adalah sangat jelas bahwa klub-klub sepakbola populer di dunia tiap tahun terus berburu para pemain berbakat tanpa menghiraukan apakah sang pemain berkulit hitam atau putih, beragama atau tidak beragama, berasal dari Afrika atau Eropa. Sebagai contoh klub besar Mancester United dari Inggris, diisi oleh pemain dengan latar belakang yang berbeda beda tapi kompak ketika bermain dan membawa nama klub.
Keempat alasan diatas menunjukkan bahwa pesona sepokbola bisa melewati batas lapangan sepak bola itu sendiri, bahkan bisa merambah ke wilayah agama.
Bagi Robert N. Bellah, seorang ahli sosiologi agama Amerika, misalkan, sepakbola bisa dipandang sebagai sebuah civil religion dalam arti olah raga ini mempunyai peraturan, ritual nilai dan pengikut fanatiknya seperti halnya agama. Tentunya agama dalam arti yang berbeda dengan nama agama yang dikenal masyarakat seperti Islam, Kristen, Hindu, Konghucu dan lain-lainnya.
Bahkan konon katanya di Brasil, sepakbola dipandang sebagai ‘agama’ kedua. Bagi masyarakat Brasil, jika ingin terkenal dan menjadi bintang yang kaya raya, maka jadilah seorang pemain sepakbola yang cerdik. Tak heran kalau Brasil merupakan satu-satunya negara yang pernah menjadi juara dunia selama lima kali dalam sejarah pertandingan sepakbola dunia. Begitu juga, para pemain sepakbola terkenal dunia muncul dari negeri ‘Samba’ ini seperti Pele, Romario, Bebeto, Ronaldo, Kaka, Ronaldinho dan lain-lainnya.
Terakhir, mudah-mudahan dengan gebyar Piala Eropa tahun ini, kita bisa mengambil hikmahnya terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai ‘fair play’ dalam sepakbola seperti kejujuran, keadilan, toleransi, sportif dan kerjasama diantara pemain meskipun berbeda latar belakang, berbeda ras, suku dan agama.
Nilai-nilai sportifitas dan toleran yang diangkat dalam permainan sepakbola bisa diaplikasikan dalam lingkungan tempat bekerja dan lingkungan hidup bermasyarakat secara umum. Sepakbola memang merupakan olahraga yang bisa menembus batas-batas. Kita tunggu, siapa yang akan menjadi juara Piala Eropa dan bagaimana para pemain bola di kejuaraan ini menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas. Mudah-mudahan kejadian kurang sportif yang dilakukan Zinedine Zidane pada Final piala dunia 2006 yang menanduk Materazzi karena ‘provokasi’ pemain Italy tersebut tidak terjadi lagi di Piala Eropa