Minggu, 10 Agustus 2008

Dampak Psikososial Bantuan Langsung Tunai



















Bantuan langsung tunai (BLT) untuk keluarga miskin (gakin) rawan penyelewengan, mulai dari jual beli kartu kompensasi BBM hingga uang jasa dan biaya transportasi pengambilan subsidi yang membebani. Sejak BLT dikucurkan bagi gakin, terdapat orang-orang yang tak merasa malu mengaku miskin hanya karena menginginkan BLT itu.
Sosiologis, kemiskinan diartikan keadaan seseorang yang tidak sanggup memelihara diri sendiri sesuai taraf hidup suatu kelompok dan tidak mampu memanfaatkan potensi fisik maupun mentalnya untuk memenuhi kebutuhan minimum. Dengan demikian kemiskinan merupakan masalah sosial bagi masyarakat.
Logikanya, seseorang enggan disebut miskin. Namun, kini gakin populer karena mendapat BLT. Kenyataan bahwa berlomba-lombanya masyarakat mendapatkan status miskin, menunjukkan rasa malu individu hilang ketika hal itu dilakukan secara kolektif.
Harga diri tidak lagi jadi pertimbangan utama. Tapi perebutan status miskin demi BLT ini bukan fenomena baru. Berbagai manipulasi kemiskinan yang dulu dimainkan Orde Baru, telah menyebar ke masyarakat dan menjadi sesuatu yang lumrah. Ketika menjadi sesuatu yang lumrah, rasa malu sudah tidak relevan lagi.
Secara psikososial, orang hilang rasa malunya bila melakukan sesuatu beramai-ramai. Demikian pula korupsi secara kolektif, tidak menimbulkan rasa malu bagi pelakunya. Jika pada era Orde Baru berbagai daerah berebut meraih label daerah miskin untuk mendapat bantuan Inpres Desa Tertinggal (IDT), kini orang berebut meraih status miskin.
Inilah simptom dari kondisi penyakit sosial yang berat, dan diperparah oleh sistem yang salah kaprah. BLT muncul sebagai virus psikososial yang dapat melumpuhkan potensi sumber daya manusia (SDM) dalam ma syarakat.

Aborigin Australia
Mari belajar dari prilaku suku Aborigin di Australia. Dulu mereka dikenal sebagai ksatria yang tangguh, pantang menyerah dalam berburu nafkah untuk keluarganya dengan menguasai alam. Sebelum datang kaum imigran Eropa, usia mereka rata-rata 70-80 tahun. Cahaya hidup memancar dari wajah dan tatapan mata mereka.
Tapi setelah terkena welfare programs dari kaum imigran, banyak dari mereka justru meninggal pada usia 38-40 tahun. Gairah dan semangat hidupnya sirna. Langkah dan postur tubuh kaum lelaki dewasa suku Aborigin tak lagi tegap dan perkasa seperti leluhurnya.
Melalui welfare programs seperti dikeluhkan mayoritas warga Australia suku Aborigin, mereka merasa kehilangan peran, kehilangan kuasa atas alam, hidup dan masa depan, serta hidup tanpa harapan. Akibatnya, terjadi tingkah laku sosial yang destruktif, terutama kekerasan dalam keluarga, alkohol, narkoba bahkan sampai membunuh dan bunuh diri.
Ketika pemerintah Australia mengucurkan dana semacam BLT itu, kaum lelaki Aborigin kehilangan peran sebagai pencari nafkah bagi keluarga, karena mereka merasa tak perlu lagi berburu di hutan dan bekerja di kebun. Tiap bulan pasti ada dana bantuan sosial dari pemerintah kepada setiap keluarga miskin.
Tapi kenyataannya, welfare programs justru telah merusak mental, etos kerja dan masa depan orang-orang miskin Aborigin, bukan menolongnya keluar dari kemiskinan. Dalam masyarakat tradisional, pencarian nafkah dan kepemimpinan berada dalam domain di mana laki-laki berperan secara dominan. Tapi welfare programs menghilangkan domain itu. Akibat-nya, kaum lelaki Aborigin merasa tidak punya arti lagi untuk bekerja keras.
Para suami miskin menganggap kehidupan sosial akan tetap berjalan normal sekalipun mereka kelak tiada. Tetapi anak-anak mereka akan berpikir ayahnya tak berguna. Mereka bahkan menjadi malu karena ayahnya penganggur, hanya hidup untuk menadah dana kompensasi pemerintah.

Memilih Jadi Miskin
Dalam satu tahun pemerintahan SBY-MJK, jumlah orang miskin di Indonesia diperkirakan meningkat drastis dari 37 juta menjadi 40 juta orang, terkait keputusan pemerintah yang menaikkan (dua kali) harga BBM secara drastis. Jika menghadapi kemiskinan akibat penindasan, di situ pemerintah harus ekstra keras menegakkan hukum/keadilan dan pemberantasan korupsi.
Miskin akibat kemalasan bisa diatasi dengan mendorong gairah kerja, pelayanan yang mengarah pada program pengembangan, serta etos kerja yang melampaui pola ekonomi subsisten. Tapi BLT justru menyebabkan banyak warga masyarakat memilih menjadi anggota keluarga miskin.
BLT juga membuat gakin kian tercekik dalam proses pemiskinan mutlak terhadap penduduk yang lemah ekonominya. Politik-ekonomi yang dikembangkan mestinya bukan dengan bagi-bagi hadiah yang justru memupuk kemalasan berusaha. Tapi dengan peningkatan SDM dan kesempatan kerja.
Misalnya melalui dana bergulir dan proyek padat karya, hal ini memberdayakan masyarakat miskin. Banyak kisah sukses dengan cara ini untuk memberdayakan masyarakat miskin, seperti yang dilakukan LSM Dian Desa di desa-desa Gunung Kidul dan Gunung Merapi.
BLT Rp 300.000,- yang tak mungkin mencukupi belanja tiga bulan akibat meroketnya harga-harga, hanya merupakan proses penumpulan daya pikir dan memacu budaya instan, santai dan konsumtif masyarakat. Ini jelas bukan pengentasan kemiskinan, tapi proses pemiskinan mutlak yang diperparah oleh kecurangan dan ketidakadilan dari lembaga-lembaga terkait. Bahkan tak sedikit warga miskin yang mengeluh karena tidak didata sebagai gakin

Minggu, 27 Juli 2008

Bantuan langsung tunai (BLT) kurang efektif

Pada zaman globalisasi ini, susahnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudah sangat terasa di kalangan rakyat kecil. Kemiskinan bertambah dari tahun ke tahun, pengangguran banyak, dan anak yang putus sekolah karena tidak mempunyai biaya sangat banyak, anak-anak lebih suka di suruh bekerja seperti menjadi pengamen oleh orang tuanya.

Apakah ada solusi untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari? Bukan menjadi pengemis kan solusinya? Mungkin rakyat mungkin rakyat miskin kebanyakan bekerja sebagai tukang kuli, yang gajinya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-harinya. Bantuan dari Pemerintah menurut saya masih belum dapat menanggulangi kemiskinan, seharusnya pemerintah tidak memberikan bantuan langsung tunai yang sering disebut BLT, tapi dana tersebut alangkah baiknya digunakan untuk membuka lapangan kerja sebanyak mungkin, sehingga dapat mengurangi kemiskinan.

Bantuan langsung tunai (BLT) menurut saya kurang efektif, mungkin bantuan tersebut dalam waktu satu minggu juga sudah habis, tetapi kalau membuka lapangan kerja itu lebih baik, karena rakyat miskin bisa bekerja yang layak dan mempunyai penghasilan tetap per bulannya,sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, karena bekerja sebagai tukang kuli penghasilannya tidak menentu dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Rabu, 23 Juli 2008

sepak bola tanpa batas

Hampir satu bulan penuh yaitu dari tanggal 7-30 Juni 2008, jutaan peminat sepak bola diseluruh dunia dimanjakan dengan kejuaraan Piala Eropa yang diselenggarakan di Swiss dan Austria.

Mendengar kejuaraan yang digandrungi oleh para penonton fanatik sepakbola di dunia, saya teringat dengan sebuah buku yang ditulis oleh Anung Handoko berjudul ‘Sepak Bola Tanpa Batas’.

Buku itu berusaha menjelaskan tentang dinamika yang terjadi dikalangan suporter sepakbola Indonesia. Nilai-nilai solidaritas dan toleransi dalam kelompok suporter termasuk mengapa supporter fanatik terkadang berprilaku anarkis, diceritakan dalam buku ini.

Meskipun buku ini ditulis dalam konteks sepakbola di Indonesia, nampaknya pengertian ‘Sepak Bola Tanpa Batas’ berlaku bagi semua negara di dunia.

Sepak bola memang bisa menyihir jutaan manusia di dunia untuk menghilangkan sekat-sekat atau batas-batas, baik itu sekat territorial, geografis, suku, agama maupun kewarganegaraan.

Apapun agamanya, Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya kalau dia sudah simpati dan menjadi fans berat David Beckham, maka kelompok fans ini akan bersatu dan mengeluk-elukan pemain Inggris ini sebagai idolanya.

Segala atribut yang berbau Beckham baik itu pakaian, model rambut atau atribut lainnya akan memepersatukan kelompok ini. Mereka tidak akan mempermasalahkan apa ras dan agama seorang Beckham.

Apapun warganegaranya, kalau dia sudah menjadi fans berat Inter Milan dari Italia atau Real Madrid dari Spanyol, maka ketika dua klub sepak bola ini bertanding mereka akan dengan senang hati mendukungnya. Termasuk rela ‘begadang’ (tidak tidur) hanya untuk menonton klub favoritnya bertanding.

Sepak bola juga telah melewati batas yang bukan hanya berarti untuk semata-mata kegiatan olah raga. Ia telah menjadi olah raga yang keberadaannya terkait dengan bisnis dan politik.

Bukan rahasia lagi bahwa banyak kalangan yang menjadi kaya raya karena sepak bola. Sepak bola telah menjadi mesin penghasil uang dan bisa mendatangkan devisa bagi sebuah negara.

Tidak hanya para pemain seperti David Backham, Christian Ronaldo, Ronaldinho dan pemain kelas dunia lainnya yang menjadi billionaire dan popular di dunia, tapi juga para pemilik club banyak mengandalkan bisnisnya dari sepak bola.

Konon, perekonomian Jerman, meningkat dengan adanya final piala dunia di negeri ini pada tahun 2006 lalu. Memang banyaknya penonton ’maniak bola’ dari seluruh penjuru dunia yang datang ke Jerman secara otomatis mendatangkan devisa bagi Jerman. Hunian hotel, tempat pariwisata dan tempat belanja di Jerman, tentunya secara otomatis akan diserbu oleh para pecinta bola ini, yang secara tidak langsung akan memberi keuntungan ekonomi bagi negara tersebut.

Pertanyaannya, mengapa sepak bola begitu digandrungi dan tidak mengenal batas? Banyak jawaban yang bisa diajukan atas pertanyaan tersebut, tetapi paling tidak empat jawaban dibawah ini bisa dijadikan rujukan.

Pertama, prasarana, dan alat yang sederhana dan murah nampaknya menjadi alasan utama mengapa olahraga ini sangat populer dan digemari.

Semua lapisan masyarakat bisa menjangkaunya. Hanya dengan sebuah bola murahan, anak-anak dengan mudah bisa memainkannya di gang-gang sempit diantara perumahan perumahan kumuh mulai dari Jakarta, Brasil sampai Ethiopia. Begitu juga dengan daya tarik bisnis yang mengitarinya, olah raga ini bisa digemari oleh orang-orang kaya berdompet tebal.

Kedua, perhatian media massa yang luas juga membuat olah raga ini begitu digandrungi. Tidak ada satu media pun di dunia baik yang lokal, regional maupun internasional yang terlewat mengulas sepakbola. Sebagai contohnya adalah hingar bingar ’Piala Eropa’ yang sedang berlangsung. Semua media baik itu media cetak, elektronik dan internet tak habis-habisnya mengulas bagaimana Belanda mampu menaklukan sang juara dunia Italia dengan score telak 3-0 dan Prancis dengan score 4-1.

Ketiga, jumlah penonton yang besar secara otomatis menjadikan peluang bisnis di bidang ini digandrungi oleh banyak orang. Dibandingkan dengan olah raga lain, nampaknya sepakbola bisa dikategorikan sebagai olahraga yang paling banyak ditonton oleh masyarakat dunia.

Keempat, sepakbola mampu mendorong berbagai karakter pemain untuk bersatu dalam satu klub tanpa melihat ras, asal pemain, warna kulit, agama dan status sosial lainnya. Adalah sangat jelas bahwa klub-klub sepakbola populer di dunia tiap tahun terus berburu para pemain berbakat tanpa menghiraukan apakah sang pemain berkulit hitam atau putih, beragama atau tidak beragama, berasal dari Afrika atau Eropa. Sebagai contoh klub besar Mancester United dari Inggris, diisi oleh pemain dengan latar belakang yang berbeda beda tapi kompak ketika bermain dan membawa nama klub.

Keempat alasan diatas menunjukkan bahwa pesona sepokbola bisa melewati batas lapangan sepak bola itu sendiri, bahkan bisa merambah ke wilayah agama.

Bagi Robert N. Bellah, seorang ahli sosiologi agama Amerika, misalkan, sepakbola bisa dipandang sebagai sebuah civil religion dalam arti olah raga ini mempunyai peraturan, ritual nilai dan pengikut fanatiknya seperti halnya agama. Tentunya agama dalam arti yang berbeda dengan nama agama yang dikenal masyarakat seperti Islam, Kristen, Hindu, Konghucu dan lain-lainnya.

Bahkan konon katanya di Brasil, sepakbola dipandang sebagai ‘agama’ kedua. Bagi masyarakat Brasil, jika ingin terkenal dan menjadi bintang yang kaya raya, maka jadilah seorang pemain sepakbola yang cerdik. Tak heran kalau Brasil merupakan satu-satunya negara yang pernah menjadi juara dunia selama lima kali dalam sejarah pertandingan sepakbola dunia. Begitu juga, para pemain sepakbola terkenal dunia muncul dari negeri ‘Samba’ ini seperti Pele, Romario, Bebeto, Ronaldo, Kaka, Ronaldinho dan lain-lainnya.

Terakhir, mudah-mudahan dengan gebyar Piala Eropa tahun ini, kita bisa mengambil hikmahnya terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai ‘fair play’ dalam sepakbola seperti kejujuran, keadilan, toleransi, sportif dan kerjasama diantara pemain meskipun berbeda latar belakang, berbeda ras, suku dan agama.

Nilai-nilai sportifitas dan toleran yang diangkat dalam permainan sepakbola bisa diaplikasikan dalam lingkungan tempat bekerja dan lingkungan hidup bermasyarakat secara umum. Sepakbola memang merupakan olahraga yang bisa menembus batas-batas. Kita tunggu, siapa yang akan menjadi juara Piala Eropa dan bagaimana para pemain bola di kejuaraan ini menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas. Mudah-mudahan kejadian kurang sportif yang dilakukan Zinedine Zidane pada Final piala dunia 2006 yang menanduk Materazzi karena ‘provokasi’ pemain Italy tersebut tidak terjadi lagi di Piala Eropa